Rabu, 30 Maret 2011

ZOPA, ALAT UKUR ZONA NEGOSIASI di APOTEK (Seri : 1)


Zone Of Potential Agreement ini adalah kepanjangan dari ZOPA. Masing asing dengan istilah ini ya…? Memang sih, tak kenal maka tak sayang kok...Si ZOPA ini adalah alat ukur yang akan memandu seberapa luaskah zona negosiasi yang ingin dipetik. Eh…Sebelum kita nge-gosipin Si ZOPA, para pharmapreneur dan pembaca sekalian tahukah kenapa perlu bernegosiasi ?
Sepertinya sudah tidak terlalu penting kan...opening-nya diawali dengan membeberkan ”Apakah yang dimaksud negosiasi ?”. Pasti sudah banyak penulis lain yang mengulas arti negosiasi, dan saya tidak terlalu tertarik untuk repot – repot lagi mengulas arti negosiasi. Setiap dari kita adalah negosiator, kapanpun dan dalam peristiwa apapun tanpa kadang tidak disadari. Saat meminta istri membuat masakan rendang dan ternyata istri anda memenuhi itu namun dengan syarat ia minta dibawakan oleh – oleh high heels sepulangnya dari kantor, ini adalah contoh sederhana dari sebuah negosiasi. Bahkan disaat permintaan kepada istri bertambah, misal rendang plus minta digorengkan keripik belut, berarti level tujuan negosiasi semakin meningkat. Ini artinya semakin menuju pada tingkat maksimal tujuan yang ingin diraih. Namun jika ternyata istri anda ngambek, ia tidak mau menyajikan rendang, dan hanya mau memberikan menu tempe goreng, maka perolehan hasil tawar dalam negosiasi dengan istri berada pada level minimal. Bahkan bila apes, istri tidak menyiapkan menu sama sekali, berarti perolehan hasil negosiasi dengan istri pada kondisi kalah.
Cerita sederhana diatas sebenarnya memberikan gambaran bahwa dalam negosiasi akan ada level – level kesepakatan. Merujuk cerita diatas, rendang plus keripik belut adalah zona maksimal tujuan negosiasi, rendang saja adalah zona target, bandeng adalah zona minimal, dan tidak disajikan menu adalah zona kekalahan. Beragam zona ini, dari zona maksimal, target, minimal dan zona kalah merupakan cakupan area dalam ZOPA. Zona ini akan selalu ada dalam setiap negosiasi. Untuk lebih jelasnya, ZOPA dapat digambarkan seperti ilustrai berikut ini :

NEGOSIATOR 1
ZOPA
NEGOSIATOR 2
Maksimal
Maksimal
Target
Target
Minimal
Minimal
Rugi / Kalah
Rugi / Kalah
Properties : Roviq Adi Prabowo

Melihat gambaran ZOPA diatas, kira – kira apa yang ada di pikiran kita ? Benar sekali, bahwa zona negosiasi sangat luas dan masing – masing pihak negosiator akan memiliki zona yang sama satu sama lain. Perbedaannya hanya kemampuan untuk memastikan pihak lawan, bahwa kita pantas untuk mendapatkan zona maksimal, bukannya minimal apalagi zona rugi atau kalah. Adanya mufakat antar pihak negosiator satu dengan negosiator dua ini akan menciptakan apa yang dinamakan sebagai level kesepakatan. Level kesepakatan bisa saja pada zona ”maksimal – maksimal”, ”maksimal – target”, ”target – minimal”, atau bahkan zona ”rugi / kalah – rugi / kalah”, dan masih banyak kemungkinan lainnya. Hal ini bergantung pada skill para negosiator dalam meyakinkan pihak lain. Perlu diingat bahwa tiap negosiator akan memiliki zona kepentingan, dan kewajiban kita untuk memenangkan zona kita terlebih dahulu pada level maksimal, sebelum pihak lawan negosiator akan menjerumuskan kita di level kalah atau rugi. Bagaimana untuk aplikasinya di ranah Apotek ? Kita tunggu sajian berikutnya, karena uraian ini masih akan bersambung...

Minggu, 27 Maret 2011

SUPPLY CHAIN MANAGEMENT KUNCI KEBERHASILAN BISNIS APOTEK


Setelah sekian lama tidak menyapa para pembaca, kali ini akhirnya tersampaikan juga menyapa anda sekalian : “ Kaifa haa luk ? ”. Orang Italia bilang : ”come sei ?”. Bagaimana kabar anda ? Semoga kabar baik, sehat dan senantiasa bahagia buat anda semua.
Beberapa obrolan tentang bisnis apotek bersama dengan rekan – rekan, baik melalui tatap muka secara langsung, via email maupun media sosial telah banyak saya lakukan. Namun, yang terakhir ini sedikit manarik perhatian saya, pasalnya ada rekan yang bertanya : ”Benarkah konseling yang digembar – gemborkan selama ini bisa membawa keberhasilan bisnis apotek yang dijalankan ?”. Guys...dimana kira – kira letak menariknya pertanyaan ini ? Iya...ini menarik karena rekan saya sebenarnya ingin mengetahui bagaimana cara mengelola sebuah informasi, dalam hal ini konseling menjadi value (nilai) yang bisa mengantarkan keberhasilan bisnis apotek.
Anda pernah membeli cheeseburger di gerai MC Donald ? Anda akan mengeluarkan uang Rp 25.000,- untuk mendapatkan cheeseburger tersebut. Pertanyaan saya adalah, apakah pembelian senilai Rp 25.000,- itu memiliki value bagi anda ? Jika anda bisa menikmati gurihnya daging sapi, kelezatan saus dan segarnya sayuran dalam cheeseburger itu, maka pembelian tersebut berarti memiliki value.
Di satu sisi, mungkin orang akan rela mengeluarkan uang ratusan ribu hingga jutaan rupiah hanya sekadar untuk lunch di Hotel Peninsula. Apakah hal ini termasuk sesuatu yang valuable ? Jika orang tersebut mampu merasakan keramahan, lezatnya sajian lunch, dan nyamannya suasana hotel berkelas bintang maka hal itu tentu saja vaulable.
Deskripsi diatas menggambarkan bahwa value bukan didasari atas mahal atau murahnya nilai uang, namun value lebih menitikberatkan pada benefit. Tidak peduli suatu jasa atau produk itu harganya mahal atau murah, jika memang benefitnya ada bagi customer, maka itu adalah value. Jika customer telah merasakan value yang diberikan, feedback yang akan diterima tentu saja adalah sebuah harga yang layak. Dengan demikian value dapat didefinisikan sebagai benefit yang akan diterima customer dibagi dengan biaya yang dikeluarkan.
Kembali ke pertanyaan rekan saya tadi, ”Benarkah konseling yang digembar – gemborkan selama ini bisa membawa keberhasilan bisnis apotek yang dijalankan ?”. Jawabannya sederhana saja : bisa ya atau juga tidak. Jika konselor di apotek, taruhlah apotekernya memang bisa mewujudkan konseling tersebut menjadi value bagi pasien atau customer apotek, maka konseling akan linier secara langsung membawa keberhasilan bisnis apotek. Namun, jika adanya konseling tidak mampu memberikan value pada pasien atau customer, maka kegiatan ini sama saja dengan aktivitas yang sia – sia.
Antara apotek dengan customer memiliki sebuah hubungan yang vertical-horizontal melalui staf apotek dan apoteker. Pengelolaan rantai hubungan ini secara efektif akan membantu menghantarkan keberhasilan bisnis apotek. Rantai hubungan ini dapat dinamakan sebagai supply chain management (SCM). Kurang tepat bila supply chain management ini hanya dimaknai sebagai suatu pengelolaan rantai hubungan yang terkait dengan logistik produk saja. Supply chain management difokuskan pada 3 hal, yakni untuk menjamin kelancaran aliran produk, dana dan informasi.
Dalam ranah bisnis apotek, fokus perhatian supply chain management untuk kontek produk diletakkan pada kelancaran aliran produk dari distributor ke apotek dan dari apotek ke customer. Tantangan terbesarnya adalah dalam hal mengatur ketersediaan produk, baik obat, vitamin, alat kesehatan dan perbekalan farmasi lainnya di apotek secara tepat kualitas, kuantitas dan tepat waktu. Karena barang dibeli dengan menggunakan modal apotek, maka makin cepat produk di apotek bergerak akan semakin bagus. Tugas apoteker dan staf apoteklah untuk menjamin pengelolaan supply chain produk agar senantiasa menghasilkan value bagi customer. Dalam konteks dana, fokus perhatian supply chain management adalah pada kelancaran arus cashflow. Karena dana apotek asalnya bisa dari pihak bank, pihak ketiga maupun dari internal namun itu tetap saja merupakan account pinjaman. Dengan demikian maka kegagalan atau keterlambatan dalam menjual produk dan perbekalan farmasi tentu akan membebani apotek. Sedangkan dalam hal informasi, titik berat supply chain management adalah pada kelancaran arus komunikasi. Kekeliruan atau ketiadaan penyediaan informasi bisa berpengaruh buruk pada kelancaran arus produk atau dana. Konseling di apotek hanyalah satu dari sekian bentuk arus informasi yang dimaksud. Dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa :

1.   Arus produk bersifat top down (atas ke bawah) dari pihak apotek sampai ke customer melalui staf apotek dan apoteker
2.   Arus dana bersifat buttom up (bawah ke atas) dari customer ke pihak apotek melalui staf apotek dan apoteker
3.   Arus informasi bersifat reversible (atas ke bawah maupun sebaliknya) baik dari customer ke pihak apotek serta sebaliknya, melalui staf apotek dan apoteker.

Untuk itulah, para pharmapreneur dan pebisnis apotek sekalian, pengelolaan yang baik terhadap supply chain akan menghantarkan bisnis apotek pada keberhasilan puncaknya. Dengan supply chain management, maka akan terjadi keseimbangan produk, dana maupun informasi. Untuk itu pharmaprenuer dan pebisnis apotek sekalian, are you ready ?