Setelah sekian lama tidak menyapa para pembaca, kali ini akhirnya tersampaikan juga menyapa anda sekalian : “ Kaifa haa luk ? ”. Orang Italia bilang : ”come sei ?”. Bagaimana kabar anda ? Semoga kabar baik, sehat dan senantiasa bahagia buat anda semua.
Beberapa obrolan tentang bisnis apotek bersama dengan rekan – rekan, baik melalui tatap muka secara langsung, via email maupun media sosial telah banyak saya lakukan. Namun, yang terakhir ini sedikit manarik perhatian saya, pasalnya ada rekan yang bertanya : ”Benarkah konseling yang digembar – gemborkan selama ini bisa membawa keberhasilan bisnis apotek yang dijalankan ?”. Guys...dimana kira – kira letak menariknya pertanyaan ini ? Iya...ini menarik karena rekan saya sebenarnya ingin mengetahui bagaimana cara mengelola sebuah informasi, dalam hal ini konseling menjadi value (nilai) yang bisa mengantarkan keberhasilan bisnis apotek.
Anda pernah membeli cheeseburger di gerai MC Donald ? Anda akan mengeluarkan uang Rp 25.000,- untuk mendapatkan cheeseburger tersebut. Pertanyaan saya adalah, apakah pembelian senilai Rp 25.000,- itu memiliki value bagi anda ? Jika anda bisa menikmati gurihnya daging sapi, kelezatan saus dan segarnya sayuran dalam cheeseburger itu, maka pembelian tersebut berarti memiliki value.
Di satu sisi, mungkin orang akan rela mengeluarkan uang ratusan ribu hingga jutaan rupiah hanya sekadar untuk lunch di Hotel Peninsula. Apakah hal ini termasuk sesuatu yang valuable ? Jika orang tersebut mampu merasakan keramahan, lezatnya sajian lunch, dan nyamannya suasana hotel berkelas bintang maka hal itu tentu saja vaulable.
Deskripsi diatas menggambarkan bahwa value bukan didasari atas mahal atau murahnya nilai uang, namun value lebih menitikberatkan pada benefit. Tidak peduli suatu jasa atau produk itu harganya mahal atau murah, jika memang benefitnya ada bagi customer, maka itu adalah value. Jika customer telah merasakan value yang diberikan, feedback yang akan diterima tentu saja adalah sebuah harga yang layak. Dengan demikian value dapat didefinisikan sebagai benefit yang akan diterima customer dibagi dengan biaya yang dikeluarkan.
Kembali ke pertanyaan rekan saya tadi, ”Benarkah konseling yang digembar – gemborkan selama ini bisa membawa keberhasilan bisnis apotek yang dijalankan ?”. Jawabannya sederhana saja : bisa ya atau juga tidak. Jika konselor di apotek, taruhlah apotekernya memang bisa mewujudkan konseling tersebut menjadi value bagi pasien atau customer apotek, maka konseling akan linier secara langsung membawa keberhasilan bisnis apotek. Namun, jika adanya konseling tidak mampu memberikan value pada pasien atau customer, maka kegiatan ini sama saja dengan aktivitas yang sia – sia.
Antara apotek dengan customer memiliki sebuah hubungan yang vertical-horizontal melalui staf apotek dan apoteker. Pengelolaan rantai hubungan ini secara efektif akan membantu menghantarkan keberhasilan bisnis apotek. Rantai hubungan ini dapat dinamakan sebagai supply chain management (SCM). Kurang tepat bila supply chain management ini hanya dimaknai sebagai suatu pengelolaan rantai hubungan yang terkait dengan logistik produk saja. Supply chain management difokuskan pada 3 hal, yakni untuk menjamin kelancaran aliran produk, dana dan informasi.
Dalam ranah bisnis apotek, fokus perhatian supply chain management untuk kontek produk diletakkan pada kelancaran aliran produk dari distributor ke apotek dan dari apotek ke customer. Tantangan terbesarnya adalah dalam hal mengatur ketersediaan produk, baik obat, vitamin, alat kesehatan dan perbekalan farmasi lainnya di apotek secara tepat kualitas, kuantitas dan tepat waktu. Karena barang dibeli dengan menggunakan modal apotek, maka makin cepat produk di apotek bergerak akan semakin bagus. Tugas apoteker dan staf apoteklah untuk menjamin pengelolaan supply chain produk agar senantiasa menghasilkan value bagi customer. Dalam konteks dana, fokus perhatian supply chain management adalah pada kelancaran arus cashflow. Karena dana apotek asalnya bisa dari pihak bank, pihak ketiga maupun dari internal namun itu tetap saja merupakan account pinjaman. Dengan demikian maka kegagalan atau keterlambatan dalam menjual produk dan perbekalan farmasi tentu akan membebani apotek. Sedangkan dalam hal informasi, titik berat supply chain management adalah pada kelancaran arus komunikasi. Kekeliruan atau ketiadaan penyediaan informasi bisa berpengaruh buruk pada kelancaran arus produk atau dana. Konseling di apotek hanyalah satu dari sekian bentuk arus informasi yang dimaksud. Dari keterangan ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Arus produk bersifat top down (atas ke bawah) dari pihak apotek sampai ke customer melalui staf apotek dan apoteker
2. Arus dana bersifat buttom up (bawah ke atas) dari customer ke pihak apotek melalui staf apotek dan apoteker
3. Arus informasi bersifat reversible (atas ke bawah maupun sebaliknya) baik dari customer ke pihak apotek serta sebaliknya, melalui staf apotek dan apoteker.
Untuk itulah, para pharmapreneur dan pebisnis apotek sekalian, pengelolaan yang baik terhadap supply chain akan menghantarkan bisnis apotek pada keberhasilan puncaknya. Dengan supply chain management, maka akan terjadi keseimbangan produk, dana maupun informasi. Untuk itu pharmaprenuer dan pebisnis apotek sekalian, are you ready ?
sangat informatif postingannya :) bagi dong referensi-referensi tentang supply chain untuk apoteknya, soalnya masih kurang ngerti nih tentang proses SCM sektor jasa khususnya apotek, terima kasih sebelumnya. mohon bantuannya yah.. :)
BalasHapusKlo kurang paham hubungi gulajawa, hahahaa
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKAMI JUAL OBAT ABORSI CYTOTEC ASLI PENGGUGUR KANDUNGAN TELAT BULAN SANGAT MANJUR. USIA 1-6 BULAN DI JAMIN BISA DI ATASI & 100% TUNTAS
BalasHapusCHAT WA : 081228866411
INFO LENGKAP : www.khususwanita.com