Para pharmapreneur & pebisnis apotek sekalian, tentu sudah tidak asing bahwa saat ini banyak bisnis apotek yang mengusung brand dengan tagline : ”komplit”. Bahkan tagline inilah yang seakan – akan menjadi mantra ampuh pemikat para pasien untuk berbelanja kebutuhan kesehatan & obat ke sana. Sebenarnya kondisi yang lebih tepat untuk apotek tersebut bukan komplit, namun ia cerdas dalam manajemen pengadaan. Coba deh periksa…apakah benar – benar komplit ? Silahkan dibuktikan !. Jika ternyata tidak komplit 100 %, kenapa berani pasang tagline “komplit” ? Yah...namanya aja mantra, harus punya daya pikat dong...
Ngomongin soal komplitnya produk di sebuah bisnis apotek, tentu tak akan lepas dengan kegiatan pengadaan (purchase order). Pengadaan apotek merupakan sebuah pesanan pembelian yang disertai dengan dokumen resmi oleh pembeli (apotek) kepada penjual (sales person), yang menunjukkan jenis, jumlah, dan kesepakatan harga produk serta jasa penjualan yang diberikan oleh penjual (sales person) kepada pembeli. Pengadaan akan dikatakan sempurna bila barang yang telah dipesan telah diterima pembeli secara sah. Meilhat difinisi tersebut, ternyata pengadaan bukan sekadar hanya masalah pembelian semata. Ada beberapa kata kunci yang patut dicatat, antara lain : dokumen resmi berupa SP (Surat Pesanan), sales person, jenis, jumlah, harga, jasa, sampai penerimaan barang. Nah...kata – kata kunci itulah yang menjadi pedoman dan harus diperhatikan dalam sebuah pengadaan apotek. Di berbagai kasus, tak jarang bagian pembelian apotek hanya berkonsentrasi pada harga saja, dimana didalamnya termaktub jumlah diskon, TOP (Term Of Payment) dan tingkat mahal-murahnya suatu produk. Jika ini yang terjadi, maka bagian pembelian tersebut harus segera bertobat, dan sarankan untuk mampir ke warung BISNIS APOTEK (he..he..). Spesifikasi kecepatan penghantaran perlu juga diperhatikan. Jasa layanan atas proses pengiriman, sistem return dan komplain atas pesanan juga layak untuk dipertimbangkan.
Disamping kondisi di atas, masih ada problem lain yakni bagaimana mengendalikan banyaknya item (Stok Keep in Unit / SKU) yang ada di Apotek ?. Bukankah kesalahan pengadaan akan mengakibatkan kondisi yang fatal, salah satunya adalah tidak efektifnya modal kerja apotek (working capital inefisiency) ?. Ibarat sebuah organ tubuh, pengadaan merupakan darahnya. Ada sebuah pesan yang baik terkait dengan pengadaan ” all mistake on forecasting end up as an inventory problem, whatever too much or too little “. Solusi untuk mengatasi pengadaan dengan item produk apotek yang banyak, salah satunya adalah dengan penggunaan kaidah hukum pareto.
HUKUM PARETO
Pharmaprenuer & pebisnis apotek dituntut untuk menjaga liquiditas kas (cash flow) dengan baik. Disisi lain, produk yang ada di apotek juga harus tersedia sedemikian rupa sehingga forecasting akurat & tidak terjadi OOS (Out Of Stock). Pada artikel sebelumnya, dengan judul : “How Much Stock ?” telah saya tekankan bahwa salah satu trik agar forecasting akurat, maka para pharmapreneur dan pebisnis apotek harus berperan sebagai demand-driven daripada forecast-driven. Udah lupa ? Atau belum baca ? Boleh koq artikel itu diintip lagi. Dari pada nanti malah bingung lo…yakin deh, tengok dulu lah ;)
Hukum pareto buah karya Vilfredo Pareto ini awalnya digunakan pada bidang sosio-ekonomi, yang saat itu menyatakan bahwa sebagian besar kekayaan populasi orang Italia hanya dikuasai oleh sekelompok kecil dari populasi tersebut. Namun karena sedemikian dinamisnya hukum ini, maka saat di implantasi untuk keperluan pengadaan apotek ternyata juga masih cocok. Dengan demikian, hukum pareto dapat dimaknai sebagai kelompok terkecil yang memiliki dampak terbesar. Pertanyaan selanjutnya : bagaimana bentuk implantasi hukum pareto pada pengadaan apotek agar cash flow berjalan dengan baik dan ketersediaan produk juga terhindar dari OOS ? Untuk menjawab ini, mari berselancar terlebih dulu untuk memahami suatu analisis yang dikenal dengan analisis ABC.
ANALISIS ABC
Untuk menemukan kelompok terkecil yang memiliki dampak terbesar pada hukum pareto, maka perlu dilakukan analisis ABC. Makna analisis ABC yaitu metode pengelompokan data, berdasar peringkat nilai tertinggi hingga terendah, yang terbagi atas 3 kelompok : A, B dan C.
Kelompok Produk | SKU / Item | Nilai Penjualan | |
A | 10 - 20 % | 60 - 70 % | |
B | 20% | 20% | |
C | 60 - 70 % | 10 - 20 % | |
| properties by : roviq adi prabowo |
Berdasar formula diatas, telah terlihat bahwa kelompok produk A dengan total SKU / item yang hanya berkisar antara 10 – 20 % telah berhasil membukukan nilai penjualan terbesar pada kisaran 60 – 70 % dari total penjualan keseluruhan. Sebaliknya, kelompok produk C dengan total SKU / item yang meruah, sekitar 60 – 70 % dari total produk yang ada di apotek hanya berhasil berkontribusi dengan nilai penjualan terkecil, sekitar 10 – 20 %.
Setelah berhasil mengimplantasi hukum pareto dengan bantuan analisis ABC seperti tersaji diatas, maka tindakan yang dilakukan adalah fokus terhadap kelompok produk A yang besarnya 10 – 20 % tersebut. Sedangkan untuk kelompok produk C, hanya diperlukan sebuah control secukupnya saja. Ketidakmampuan para pharmapreneur dan pebisnis apotek untuk mengendalikan kelompok produk A pada hukum pareto ini akan berdampak hilangnya potensi nilai penjualan yang signifikan. Sedangkan manfaat yang bisa diraih jika berhasil memenuhi pengadaan sesuai kondisi hukum pareto, antara lain :
- Tidak terjebak pada kondisi bisnis apotek yang tidak teratur
- Memiliki gambaran data untuk mengambil ketepatan perlakuan bisnis apotek
- Merinci beberapa kelompok produk yang memiliki nilai strategis bagi bisnis apotek
- Aliran kas terkendali dengan arus yang baik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar