Selasa, 23 November 2010

KASUS AKBAR MULYA, CERMIN UNTUK BISNIS APOTEK !


Membaca berita di salah satu harian ibukota, ada berita menarik yang membuat antene di kepala berdenyut (bip..bip..bip..bip..!!!). Ada apa sih memangnya ? Oke, berikut ini kutipan beritanya :

Indera pendengaran Akbar Mulya, karyawan perusahaan swasta di bilangan Jakarta Pusat, masih belum normal meski sudah berobat ke dokter spesialis di sebuah rumah sakit swasta. Setidaknya ada tiga jenis obat antivirus yang harus ditebus dengan kocek sekitar 260 ribu rupiah untuk tiga jenis. Obat-obat tersebut memang cukup ampuh untuk meredakan rasa nyeri di telinganya. Tapi selang tiga hari setelah semua obat habis, rasa nyeri di telinganya kembali kambuh. Karena masalah keuangan, dia memutuskan untuk pergi ke sebuah rumah sakit pemerintah dengan harapan biaya pengobatan akan lebih murah. Obat infeksi telinga yang harus ditebus di apotek tertera keterangan “obat generik”, sebuah obat yang lekat untuk golongan ekonomi menengah ke bawah. Untuk dua jenis obat ditebus tidak sampai 50 ribu rupiah. Ternyata Akbar merasakan khasiat yang sama ampuhnya dengan resep dokter yang pernah diberikan di rumah sakit swasta. “Saya tidak habis pikir, harga obat untuk penyakit yang sama, tapi perbedaannya sangat jauh,” katanya’.

Bloggers, pharmapreneur, pebisnis apotek dan pelanggan warung BISNIS APOTEK sekalian…itulah sekelumit kutipan dari berita salah satu koran ibukota pada hari Sabtu, 20 November 2010. Kenapa juga antene saya berdenyut bip…bip…bip membaca berita ini ? Jika disimak dengan seksama, ada beberapa fenomena berikut yang layak untuk direnungkan :
  1. Pasien / customer semakin kritis
  2. Pasien / customer leluasa mencari pembanding
  3. Pasien / customer lebih rasional
  4. Pasien / customer lebih membeli benefit (manfaat) daripada produk.
Minimal empat hal ini yang dapat disimpulkan dari fenomena seorang Akbar Mulya pada kutipan berita tersebut.

PERILAKU KONSUMEN (PASIEN)

Fenomena Akbar Mulya ini sebenarnya tak lepas dari teori ekonomi manajemen klasik yang membedah masalah perilaku konsumen (customer behaviour). Setidaknya ada empat teori yang diutarakan dalam memahami perilaku konsumen (customer behaviour) dalam hal keputusan pembelian, yakni :
  1. Complex Decision Making
Pengambilan keputusan pro aktif yang didasarkan atas informasi, pertimbangan, dan evaluasi pada suatu layanan atau produk.
  1. Brand Loyalty
Pengambilan keputusan muncul akibat dari kepuasan yang diperoleh dari penggunaan produk atau pelayanan yang didapat di masa lampau.
  1. Limited Decision Making
Pengambilan keputusan yang tidak melibatkan informasi, pertimbangan dan evaluasi secara maksimal, karena tujuannya hanya sekadar coba – coba. Keputusan model ini biasanya terjadi secara tiba – tiba, dan pelanggan akan mudah beralih ke produk / layanan lain jika ia sudah bosan.
  1. Inertia
Pengambilan keputusan yang dilakukan karena dalam kondisi terburu – buru ataupun adanya hambatan untuk mencari alternatif lain.

Bloggers, pharmapreneur, pebisnis apotek dan pelanggan warung BISNIS APOTEK, coba renungkan…Seorang Akbar Mulya ini, setelah mendapatkan manfaat yang sama (atau bahkan lebih !) dari hasil periksa di rumah sakit pemerintah dan konsumsi obat generik yang ditebus di apotek, maka ia akan mengalami pergeseran perilaku kepada brand loyalty terhadap obat generik dan complex decision making ketika akan memeriksakan kesehatannya di rumah sakit swasta dan penebusan resep dokter.


FENOMENA ‘NETIZEN’

Istilah NETIZEN muncul sekitar tahun 1992, Michael Houban dialah yang mempopulerkan istilah tersebut. NETIZEN merupakan sebutan bagi mereka, para personality yang selama 24 jam senantiasa terkoneksi di dunia online teknologi internet (mobile / statis). Lah…apa hubungannya NETIZEN dengan kasus Akbar Mulya tadi ? Hubungan mereka baik – baik saja (he..he..he..) ! Hubungan antar keduanya adalah adanya perubahan gaya hidup dan perilaku sosialnya. Adanya gadget (bloggers, pharmapreneur, pebisnis apotek & pelanggan warung ada yang bingung istilah ini, coba bajunya dibalik ! xixixi…) yang mereka bawa sehari – hari dan layanan media sosial yang telah banyak muncul seperti : facebook, twitter, & web ini adalah media sihir tanpa dukun dan tanpa mantra yang mampu mempengaruhi dan membentuk opini jutaan orang. “Netizen Indonesia 2010: Attitude and Behavior” sebuah riset yang melibatkan 1500 responden dan tersebar di seluruh Indonesia menemukan sembilan tipe NETIZEN di Indonesia, yakni : netterrorist, netpublisher, netadvocate, netstriver, networker, netjunkie, netavoider, netcrawler dan netrookie. (Balita termasuk NETIZER bagi maminya, karena mereka sering ‘nettek’ -menyusui, red.-, hehehe..).
Nah, balik ke kasus Akbar Mulya tadi…Apa jadinya jika seorang Akbar Mulya ini adalah seorang netterorist ? Bukankah si dokter yang di rumah sakit swasta tersebut akan tercoreng – moreng akibat teror media darinya. Apa jadinya juga jika ia adalah seorang netpublisher ? Walaupun ini sudah terjadi melalui salah satu harian ibukota, namun ia masih berbaik hati hanya dengan menyebut “rumah sakit swasta”, bukan rumah sakit “anu”. Btw, masih ingat kan kasus Prita Mulyasari & koinnya ?. Betapa akan jatuh brand rumah sakit swasta tersebut bila disebutkan secara eksplisit nama yang sebenarnya. Lebih parah lagi, jika ternyata ada medication errors dan masuk campur tangan netadvocates, aduuuuuh…ga’ kebayang deh. Pasti ujung – ujungnya pengadilan, kalau masalah pajak sih lumayan…replicate si Gayus yang didakwa cukong perkara masih ‘agak’ bebas berkeliaran (hehehe…wig-nya, kagak nahan cuiy…!).

BISNIS APOTEK : MAU GAYA GROSIR ATAU BANK ?

Melihat fenomena si Akbar Mulya ini, maka selayaknya pharmapreneur & pebisnis apotek perlu melakukan instropeksi terhadap bisnisnya. Apakah bisnis apoteknya akan didorong dengan gaya ala grosir ? Yang penting jual cepat, putaran produknya kencang dan laba gede’ ! Atau mungkin malah akan putar haluan 180o dengan memakai gaya ala bank ? Berbasis pelayanan yang mengacu pada kepuasan customer jangka panjang, dengan daya inovasi dan kreatifitas produk tingkat tinggi.
Untuk memilih gaya manakah yang akan dipilih, sejenak akan kita tinjau terlebih dulu tentang bisnis apotek ini. Bisnis apotek merupakan bisnis yang unik, karena ia memadukan dua unsur yang kontras, yakni unsur bisnis yang bersifat profit, dan unsur pelayanan terapi obat yang bersifat sosial. Hakikat pembelian obat oleh customer / pasien bukan karena produk obat tersebut akan dikonsumsi secara rutin layaknya barang – barang consumer good. Namun dengan konsumsi yang seminimal mungkin akan memberikan dampak terhadap kesehatan pasien. Inilah harapan mendasar kenapa pasien membeli produk – produk apotek. Jika demikian, maka ukuran yang pantas bagi kelangsungan bisnis apotek adalah bagaimana agar pasien mempercayakan masalah obat dan kebutuhan kesehatannya pada bisnis apotek kita, bukan sekadar penjualan sebanyak – banyaknya layaknya grosir. Jika hanya mengandalkan gaya ritail, maka akar bisnis apotek yang sedang berdiri sebenarnya masih rapuh. Karena ia tidak memiliki base customer care yang kokoh (selain cuma faktor harga), dan base customer satisfaction (lagi – lagi selain faktor harga). Akan parah lagi jika ternyata customer / pasien ini adalah seorang NETIZEN, wuaaaaa….!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar